Senin, 27 Januari 2020

Biotemediasi Ipa kelas 9, Senin 27 Januari 2020 Bioremediasi merupakan penggunaan mikroorganisme untuk mengurangi polutan di lingkungan. Saat bioremediasi terjadi, enzim-enzim yang diproduksi oleh mikroorganisme memodifikasi polutan beracun dengan mengubah struktur kimia polutan. Peristiwa ini disebut biotransformasi. Pada banyak kasus, biotransformasi berujung pada biodegradasi, saat polutan beracun terdegradasi, strukturnya menjadi tidak kompleks, dan akhirnya menjadi metabolit yang tidak berbahaya dan tidak beracun. Sejak tahun 1900an, orang-orang sudah menggunakan mikroorganisme untuk mengolah air pada saluran air. Saat ini, bioremediasi telah berkembang pada perawatan limbah buangan yang berbahaya (senyawa-senyawa kimia yang sulit untuk didegradasi), yang biasanya dihubungkan dengan kegiatan industri. Yang termasuk dalam polutan-polutan ini antara lain logam-logam berat (merkuri, stronsium, kadmium), petroleum hidrokarbon, dan senyawa-senyawa organik terhalogenasi seperti pestisida, herbisida, CFC, dan lain-lain. Banyak aplikasi-aplikasi baru menggunakan mikroorganisme untuk mengurangi polutan yang sedang diujicobakan. Bidang bioremediasi saat ini telah didukung oleh pengetahuan yang lebih baik mengenai bagaimana polutan dapat didegradasi oleh mikroorganisme, identifikasi jenis-jenis mikroba yang baru dan bermanfaat, dan kemampuan untuk meningkatkan bioremediasi melalui teknologi genetik. Teknologi genetika molekuler sangat penting untuk mengidentifikasi gen-gen yang mengkode enzim yang terkait pada bioremediasi. Karakterisasi dari gen-gen yang bersangkutan dapat meningkatkan pemahaman kita tentang bagaimana mikroba-mikroba memodifikasi polutan beracun menjadi tidak berbahaya. Strain atau jenis mikroba rekombinan yang diciptakan di laboratorium dapat lebih efisien dalam mengurangi polutan. Mikroorganisme rekombinan yang diciptakan dan pertama kali dipatenkan adalah bakteri "pemakan minyak". Bakteri ini dapat mengoksidasi senyawa hidrokarbon yang umumnya ditemukan pada minyak bumi. Bakteri tersebut tumbuh lebih cepat jika dibandingkan bakteri-bakteri jenis lain yang alami atau bukan yang diciptakan di laboratorium yang telah diujicobakan. Akan tetapi, penemuan tersebut belum berhasil dikomersialkan karena strain rekombinan ini hanya dapat mengurai komponen berbahaya dengan jumlah yang terbatas. Strain inipun belum mampu untuk mendegradasi komponen-komponen molekular yang lebih berat yang cenderung bertahan di lingkungan. Bioremediasi Perbaiki Kualitas Lahan Pertanian Jakarta – Banyaknya aktivitas tambang mineral di Indonesia menyisakan lahan yang menjadi tidak subur lagi. Namun ternyata, tidak selamanya lahan bekas tambang menjadi tidak bermanfaat. Bioremediasi lahan dengan menggunakan mikroba tertentu yang disebut dengan Inokulan Konsorsia Mikroba Rhizosfer (IMR) dapat memulihkan lahan yang tadinya tidak subur menjadi lebih subur. Peneliti Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi (PAIR) Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), Nana Mulyana mengatakan, bioremediasi telah dikembangkan sejak tahun 60an. Secara terminologi, bioremediasi berasal dari 2 kata, yakni bio dan remediasi. “Jadi pembenahan lahan dengan menggunakan hayati atau mikroorganisme,” katanya saat konferensi pers di kantor PAIR BATAN, Jakarta, Senin (30/09). Dengan memanfaatkan teknologi nuklir, wadah atau media yang digunakan untuk menyimpan mikroorganisme diradiasi dengan sinar gamma pada dosis 25 kilogrey sehingga kualitas mikroorganisme dapat terjaga selama dalam penyimpanan hingga 1 tahun. “Mikroorganisme yang disimpan dalam wadah yang sudah diiradiasi misalnya sejumlah tertentu, maka setelah disimpan dalam waktu 1 tahun, jumlahnya tetap dan tidak berkurang,” tambahnya. Mikroorganisme yang sudah sudah diformulasikan kemudian digunakan untuk memperbaiki lahan yang rusak. Sebelum dilakukan perbaikan atau pembenahan, lahan yang sudah rusak tadi harus diidentifikasi dulu masalah utamanya, agar mikroorganisme yang dikembangkan tepat sasaran. Secara umum, jelas Nana, permasalahan lahan di Indonesia disebabkan oleh empat hal. Pertama, lahan yang terkontaminasi logam berat, kedua, lahan yang terkontaminasi hidrokarbon seperti tumpahan minyak bumi, ketiga iklim tropis di Indonesia menyebabkan lahan kerapkali terkena penyakit tanaman Fusarium, dan keempat adalah aktivitas tambang yang menyebabkan kerusakan pada bagian atas tanah (top soil), tempat pertumbuhan akar atau rizhosfer. “Kegiatan manusia melakukan penambangan juga dapat merusak lapisan atas tanah. Kegiatan penambangan biasanya berakibat pada terkelupasnya lapisan atas tanah, sehingga yang berada di lapisan atas adalah sub soil, dan lapisan ini tidak subur,” kata Nana. Setelah diketahui permasalahannya, selanjutnya bioremediasi lahan dilakukan dengan mengembangkan mikroorganisme yang mampu mengurangi penyebab kerusakan lahan itu. “Misalnya, untuk logam berat, kami kembangkan mikroorganisme yang memang memiliki kemampuan mengarsorbsi atau menyerap logam berat. Sehingga ketika ditanami, tanaman bisa tereduksi kandungan logamnya,” jelas Nana. Nana menerangkan, salah satu penerapan IMR untuk bioremediasi ini pernah dilakukan di daerah Cepu, Jawa Tengah yang tercemar hidrokarbon berupa minyak bumi. “Kami lakukan pengomposan (pemupukan) disitu dengan bahan organik lokal. Kebetulan di Cepu daerah hutan jati, banyak serbuk gergaji. Maka serbuk gergaji ini kita gunakan sebagai mikroba untuk pembenahan lahan awal,” terangnya. Hasilnya, lanjut Nana, setelah 45 hari terjadi penurunan kandungan hidrokarbon dan hanya tersisa 10 persen saja. Untuk mengembalikan ekosistem, lanjut Nana, langkah selanjutnya adalah lahan yang sudah dibenahi tadi ditanami tanaman heterogen dibantu oleh IMR, sehingga tanaman yang tidak mampu tumbuh dapat tumbuh dengan baik. Laham ditanami tanaman keras seperti pohon rambutan dan mangga, dan diselanya ditanam rumput gajah yang mampu secara berkelanjutan menyerap hidrokabron.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar